Kuliah malam "Gratis" di Institut Français d'Indonésie
August 02, 2018
Kemarin
saya mendapat kesempatan kuliah malam gratis di Institut Français d'Indonésie
(IFI). Saya mendapatkan undangan untuk mengikuti Open Lecture with Akira
Tatehata dengan judul “Salvation and/or Obsession: The World of Yayoi Kusama”.
Untuk undangan wajib melakukan registrasi ulang sebelum masuk ke auditorium
dimulai pukul 18.15 dan perkuliahan akan dimulai pukul 19.00-21.00.
Letak
gedung Institut Français d'Indonésie ini di tengah Ibu Kota, jika kita baru
pertama kali berkunjung pasti sulit untuk membedakan tepat di sebelah mananya.
Pintu masuknya pun kecil dan hanya dapat dibuka ketika security memberikan akses kita masuk. Hampir mirip ketika saya
berkunjung ke Kedutaan Besar Jepang empat tahun yang lalu.
Dan
ternyata IFI ini dulunya adalah Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta yang
sekarang berubah nama menjadi Institut Français d'Indonésie (IFI). Dibangun
sejak kurang lebih 40 tahun lalu, lembaga ini merupakan salah satu pusat Kebudayaan
Prancis terbesar di dunia. Di bawah naungan Kedutaan Besar Prancis di
Indonesia.
Sekarang
mari kita mebahas sedikit tentang Akira Tetehata.
Akira
Tatehata adalah Direktur The National Museum of Art, Osaka (Japan) Lahir di
Kyoto pada tahun 1947. Lulus dari School of Letters, Arts and Sciences, Waseda
University. Curator of the National Museum of Art, Osaka dan profesor Tama Art
University sebelum mengambil posisi saat ini, pada tahun 2005. Mengkhususkan
diri pada seni modern dan kontemporer. Komisaris Jepang untuk Venice Biennale
(1990, 93), direktur artistik dari Yokohama Triennale 2001, dan kurator dari
banyak pameran seni modern / kontemporer di Asia. Juga, seorang penyair dan
telah menerima Rekitei Prize of New Poet (1991) dan Takami Jun Award (2005).
Tinggal di Osaka.
***
Saya
tiba lebih awal yaitu jam 18.05 dan langsung regist ulang dan diajukan pilihan untuk memilih subtitle yang akan di gunakan. Seperti
yang sudah saya ungkapkan sebelumnya ini adalan open lecture dengan Akira Tatehata yang merupakan orang Jepang
dimana materi perkuliahan terbuka ini akan dibawakan dalam bahasa Jepang, maka
untuk setiap undangan akan ditanyakan kembali ingin menggunakan subtitle berbahasa Indonesia, English
maupun langsung dengan bahasa Jepang. Karena saya adalah awam dalam Art dan bahasa Inggris saya juga biasa
saja, maka saya menggunakan subtitle
dengan bahasa Indonesia.
Karena
waktu untuk menunggu masuk ke auditoriumnya cukup lama, kami disediakan snack gratis.
Ketika
saya tiba, saya mendapat kenalan baru tapi saya lupa untuk menanyakan namanya
(pardon me. Hiks). Beliau seorang Ibu-ibu
kita sebut saja Ibu A. Ibu A ini menjadi teman ngobrol untuk membunuh rasa
bosan karena menunggu dan ternyata beliau sering mengkuti kegiatan seperti ini,
pameran seni, forum diskusi, mungkin masih banyak lagi. Beliau juga sempat memberikan
info akan ada pameran lagi di Galeri Nasional yang menampilkan koleksi Istana
Kepresidenan Republik Indonesia yang terbuka untuk umum tanggal 3-31 Agustus
2018.
Saya
juga menyempatkan untuk mengambil beberapa foto ketika berada di Institut Français
d'Indonésie.
Waktu
yang ditunggu pun tiba, akhirnya satu persatu kami dipersilahkan mengambil headphone untuk digunakan selama
perkuliahan dengan Professor Akira Tatehata dengan mendengarkan subtitle yang sudah dipilih saat regist ulang. Perkuliahan dimulai
sedikit terlambat sekitar pukul 19.15.
Sebelum
perkuliahan dimulai, ada beberapa sambutan dari Aaron Seeto selaku Direktur
dari Museum MACAN.
Open lecture with
Akira Tatehata ini menceritakan bagaimana terciptanya karya-karya Yayoi Kusama
yang sempat menderita depresi. Sejak kecil, Yayoi Kusama menderita halusinasi
dan masalah psikologis yang terwujud dalam bentuk obsesi. Visual halusinasi ini
muncul berupa polkadot atau pola serupa yang berulang. Hingga kini, Yayoi
Kusama masih secara konsisten menciptakan karya-karya dengan prinsip tersebut,
hal ini bisa saja terjadi karena latar belakang patologisnya yang unik. Obsesinya
sering datang tiba-tiba, dan agar tidak diliputi obsesi, ia mulai menggambar
objek yang dilihatnya, hal ini sebenarnya cukup paradoks. Namun, bukankah lebih
baik jika mengatakan bahwa Yayoi Kusama terlahir untuk memperkaya dunia yang
indah ini dengan variasi karakteristiknya ?
Bersamaan
dengan pencarian rahasia atas ciptaan, ia berharap bisa melepaskan diri dari
obsesinya dan membebaskan dunia dengan cinta. Ia ingin menerangi realitas
versinya yang bertalian erat dengan idealisme yang terus bertumbuh besar. Pikiran
yang luas memungkinkan ia untuk menemukan pseona dalam segala hal yang ia
lihat, tidak pernah saya kenal kemampuannya ini layu meskipun ia sudah mencapai
usia 89 tahun.
Professor
Akira Tatehata juga memperlihatkan karya Yayoi Kusama dan menceritakan alasan
atau makna dari lukisan-lukisan tersebut. Menurut saya sama halnya dengan Penulis,
Penyanyi ataupun Pencipta lagu pasti memliki makna tersirat maupun tersurat
disetiap karyanya, begitupun dengan Yayoi Kusama.
Yayoi
Kusama sewaktu kecil dilarang melukis oleh kedua orangtuanya, namun ia bertekad
untuk tidak pernah berhenti melukis. Karya-karya Yayoi Kusama juga identik
dengan penggambaran dirinya sendiri, ada karya saat beliau menggambarkan
kematiannya (yang mungkin ia lakukan ketika depresi), feminisme walaupun
sebenarnya ia sangat anti feminisme, freedom,
lukisan dengan pola berulang yakni jaring dan polkadot, kemudian seiring
berjalannya waktu ia melukiskan tentang dirinya sendiri dengan wajah berbagai
warna dan mengusung tema perdamaian atau cinta, ia juga melukiskan tentang
keluarganya.
Berikut
ini saya cantumkan beberapa foto yang sempat saya ambil kemarin malam
disela-sela penejelasan Professor Tatehata. Lihat sampai habis ya, karena dipaling bawah saya akan menuliskan
beberapa pertanyaan saat sesi tanya jawab.
Disebabkan
karena waktu dipersilahkan masuk auditoriumnya terlambat a.k.a ngaret jadi sesi
tanya jawab dibuka untuk dua sesi dan masing-masing sesi untuk satu orang.
Saya
tuliskan berdasarkan apa yang saya ingat ya, karena saya baru bisa merekam sesi
pertanyaan disesi yang ke-dua.
*Pada
pertanyaan pertama, membahas tentang kenapa museum yang menampilkan karya Yayoi
Kusama di Jepang (saya lupa nama museumnya) baru dibuka pada tahun 2017
sedangkan museum tersebut sudah selesai dibangun pada tahun 2014 dan apakah benar
diberikan batas jumlah pengunjung ?
Prof
Tatehata mengatakan alasan dibalik lamanya waktu pembukaan adalah karena
diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan semua karya-karya Yayoi
Kusama dan pembatasan jumlah pengunjung memang benar, karena seminggu hanya
dibuka dalam empat hari dan dalam tiap hari ada empat sesi yang memperbolehkan
50 pengunjung/sesi dan selalu sold out,
kini sudah ditambahkan menjadi lima sesi #CMIIW
tapi jika ada orang Indonesia yang berkesempatan singgah di Jepang dan ingin
berkunjung ke museum tersebut, Prof Tatehata bersedia membantu agar bisa masuk
walaupun sudah sold out
(Horeeeeee!!).
Prof
Tatehata juga sempat mengatakan kalau peminat karya Yayoi Kusama diluar Jepang
lebih besar dan saat ini sedang mengusahakan untuk membukanya di New York. Karena
kalau saya tidak salah ingat, Yayoi Kusama pernah berkuliah di New York.
*Pertanyaan
kedua membahas tentang, bagaimana Yayoi Kusama berkomunikasi dengan Professor
Tatehata atau tim yang lain karena Kusama pernah mengalami depresi dan pasti
menyebabkan beberapa kesulitan dalam berkomunikasi, juga apakah kalau Yayoi
Kusama tidak menderita depresi apakah ia tetap sama seperti sekarang dan bisa
membuat karya yang seperti sekarang kita lihat atau kenal (sebagai orang awam
terhadap seni) ?
Professor
Tatehata menyampaikan, Kusama bukan orang gila, memang karena ada penyakitnya
ada sedikit unsur gilanya tapi dia tidak termasuk gila. Ia juga memiliki seni
rupa hasil karya primitive A dan ada juga
hasil karya anak balita khususnya usia 2-3 tahun, dan sesuatu yang bisa
menonjol adalah karya genius yaitu
anak usia 2-3 tahun tapi kalau usia 3-4 tahun atau lebih sudah menjadi suatu pattern dimana unsur genius sudah menghilang. Satu unsur lagi
jika kita melihat hasil karya primitive
A 1000 tahun lalu, kita akan melihat kalau itu adalah hal yang genius, mereka mempunyai ke-genius-an diluar jaman, keunggulan
mereka itu tidak ikut jaman, tidak akan berubah, sementara kita ambil contoh
karyanya van Gogh yang impressionis
dan menimbulkan sensasi di dunia seni.
Yayoi
Kusama awalnya ada yang bergantung jamannya pada waktu itu, tapi saat di New
York dia ikut mengusung pop art
artinya dia masih mengikuti jaman, kalau karyanya seseorang yang gila dia tidak
akan mengikuti jaman tapi Kusama maupun Gogh masih mengikuti jaman. Diluar
sakitnya saya akan mengatakan Kusama adalah seorang genius yang kita kenal.
Komunikasi
Kusama dengan orang sekitarnya sulit karena penyakitnya, Professor sendiri
adalah seseorang yang dekat dengan Kusama tetapi tetap mengalami kesulitan saat
berkomunikasi. Melalui karya yang obsesi kita dapat lihat dia ingin mencoba berkomunikasi.
Obsesi kusama menjadi jembatan tersendiri untuk berkomunikasi dengan penikmat
karyanya.
Tapi
dalam komunikasi seperti biasa, dia bisa menelepon Professor 3-4 kali sehari
dan berbicara terus tanpa jeda, berbicara semaunya dan ketika sudah mengatakan
apa yang ia maksud maka langsung menutup teleponnya. Hanya komunikasi satu arah
sehingga komunikasi dua arah sangat sulit dilakukan.
***
Jika
kalian penasaran ingin melihat bagaimana Museum MACAN dan belum sempat
berkunjung bisa meluangkan waktu sebentar untuk berkunjung ke kanal YouTube saya
“Anggrainica Ay” yang saya sudah publish beberapa bulan lalu atau klik di sini.
2 Comments
Duh keren banget mendapat kesempatan kuliah malam gratis, dan dapet banyak ilmu ya mba Nica.
ReplyDeleteHaii, salam kenal mba wanti. Terima kasih sudah berkunjung di blog ini. Boleh panggil Ayu atau chitra aja kok hehehe..
DeleteIya alhamdulillah banyak dapet ilmu dan pengalaman baru disana :)