Aku mendongeng III
September 19, 2018
Cerita sebelumnya klik di sini.
Pict from IG Kyrenian |
Kota ini adalah ibukota dan kota
terbesar distrik Cochem-Zell di negara bagian Rheinland-Pfalz, terletak di jalur kereta api
Koblenz-Trier. Sebuah jalur kereta api yang terletak di tepi kiri utara Sungai Moselle, selama
Perang Dunia II banyak bangunan-bangunan tua di kota ini yang hancur.
Bibi Lilian ikut menemaniku
berkelilingi di sekitar kota ini, memaksa. Barangkali aku tersesat atau ceroboh
menaiki kereta dengan tujuan yang salah. Sebagai gantinya aku yang memutuskan
untuk berpergian menggunakan kereta api, memilih tempat duduk dekat jendela,
dan tidak ingin di ganggu sampai tempat tujuan.
Sejauh mata memandang kami disuguhi
oleh pemandangan yang memanjakan mata. Bukit, sungai dan castil, rasanya sayang
untuk dilewatkan. Bibi Lilian jatuh terlelap di sebelahku, tidak bisa menahan
rasa kantuknya. Dia mulai bosan. Untuknya pemandangan ini sudah jadi hal
biasa.
Tidak lama ponsel ku berbunyi, ada sebuah pesan singkat
"Nana, maaf."
Aku mengabaikannya, memasukkannya kembali ke kantong
jaket.
5 menit berlalu, ponsel itu kembali berbunyi. Kali ini
bukan pesan singkat, nama itu kembali muncul di layar ponsel. Aku menekan
tombol Turn off.
Fuhhhhh!
"Kita sudah sampai ya?" Bibi Lilian mengerjapkan
mata, terbangun mendengar lenguhanku.
"Belum Bi." Jawabku secepat mungkin sambil
memalingkan wajah, menatap keluar jendela.
Bunyi panjang dari lonceng kereta
api terdengar, menandakan kami telah sampai di tempat pemberhentian terakhir.
Tempat tujuan kami.
Aku bersiap, merapatkan jaket berwarna merah marun yang ku
kenakan. Bibi Lilian mematut bayangan dirinya di cermin kursi sebelah, yang
sudah di tinggalkan turun penumpangnya. Membenarkan letak syal tua warna merah
muda yang terlihat tebal dan nyaman. Syal itu pemberian mendiang suami Bibi,
saat ulang tahun anak mereka yang berusia satu tahun. Paman Walter sengaja
memberikan hadiah juga untuk istrinya.
"Malaikat kecil kita, tidak akan ada dan tidak akan
menggemaskan seperti ini, jika bukan kamu yang melahirkan dan merawatnya sejak
dalam kandungan. Hadiah ini tidak seberapa dibandingkan itu semua." Air mata
muncul di sudut matanya, Bibi Lilian menceritakan kisah itu saat aku berusia
delapan belas.
"Siap ?! Mau kemana kita tuan putri ?" Bibi
Lilian bertanya bak pengawal kerajaan. Euforia muncul diantara aku dan Bibi
sejak keluar dari stasiun kereta. Jalan-jalan setapak terlihat dari kejauhan.
"Ice cream
first!!"
Bibi Lilian diam sejenak "Cuaca hari ini dingin sekali
Nana."
Tapi Bibi Lilian tersenyum jahil mengiyakan.
0 Comments